Sang
surya bersinar terang. Cahyanya merasuk
ke dalam ruangan kamarku yang gelap melalui celah-celah tirai jendela kamarku
yang kusam penuh debu. Mataku pun terdorong untuk segera terbuka. Dengan
langkah pasti, kulangkahkan kaki menuju ke kuningnya tirai jendela yang dengan
lembut kubuka. Langit nan indah dan biru membuka awal hariku. Burung-burung
berkicau menyapaku. Kutersenyum menatap indahnya bukit di sebelah rumahku. Hari ini kuawali dengan senyum termanisku
yang keluar dari lubuk hatiku yang terdalam. Tak lupa kupejamkan sejenak kedua
indera penglihatanku ini tuk mengucap syukur pada Allah SWT atas perlindunganNya sepanjang malam dan awal
hari ini.
Tiba-tiba terdengar suara gelas
pecah. Segera kuayunkan kedua kakiku menuju sumber suara itu. Namun, langkahku
terhenti seketika. Kedua mataku yang bulat berwarna coklat kehitaman ini
terpaku pada seorang wanita setengah baya yang tergeletak lemah tak berdaya di
atas dinginnya dan kasarnya lantai rumahku.
Di ujung tangannya, terlihat pecahan sebuah gelas kecil. Aku terdiam
tanpa kata sesaat. Baru setelah beberapa saat kemudian aku tersadar dari
keterkejutanku melihat keadaan itu. Bergegas kubantu wanita berambut putih itu
naik ke atas dipan. “Bu, kenapa toh? Ibu kambuh meneh? Bukannya kemaren wes
sembuh?” Tanyaku cemas sembari menahan air mataku yang hampir terjatuh.
Kupegang tangan wanita yang telah menginjak usia berkepala lima tersebut.
Tangannya kasar dan berkeringat dingin. Kudengar napasnya yang terputus-putus
diiringi suaranya yang merintih kesakitan. Tak kuat diriku melihat kondisi
wanita berbaju merah kembang itu yang tak lain adalah ibu kandungku tercinta.
Tanpa melewati waktu sedetik pun ,
aku segera mencari obat di laci kayu yang sudah tak kokoh termakan usia. Mataku
terpencar ke seluruh sisi laci demi menemukan obat asma ibuku, Ibu Marina,
secepat mungkin. Tak sia-sia, belum mencapai dua menit, kutemukan obat itu di
sudut laci kecil itu. Namun, botol itu sudah sangat ringan. Isinya pun hanya
tersisa dua butir saja. Pikiranku semakin kacau tak terkendali. Akan tetapi,
mengingat keadaan wanita yang telah melahirkanku terbaring di atas kerasnya
papan tidur, aku tak membuang waktu. Kuarahkan kakiku menuju bilik kecil di
mana ibuku berada. Entah apa yang membuat tanganku bergerak cepat memasukkan
sebutir tablet berwarna putih ke dalam mulut ibuku yang kecil. Tak lupa
kuberikan segelas air hangat kepada ibuku. Wanita berkulit gelap itu pun
kembali terbaring.
Mengetahui aku harus melakukan
banyak hal, kaki dan tanganku langsung bekerja sama dengan kompak tanpa kenal
lelah membersihkan rumah kayuku yang mungil. Tak butuh waktu lebih dari 60
menit, rumah tuaku telah bersih kembali. Aku tidak membiarkan kaki dan tanganku
yang sangat kurus bagaikan tulang dilapisi sehelai kain tipis ini berhenti
untuk beristirahat. Kuajak keduanya bekerja dengan pakaian-pakaian yang sudah
kusam, kumal, dan berlubang di mana-mana. Setelahnya, tangan berkulit gelapku
pun segera menjemur pakaian yang telah harum di bawah teriknya matahari pagi.
Barisan pakaian yang basah pun tergantung di atas seutas tali tipis yang diikat
pada dua batang pohon mangga besar yang ditanam dan dirawat dengan sepenuh hati
oleh almarhun ayahku.
Kulanjutkan gerakan langkah kakiku
yang telah mulai letih menuju sebuah bilik di belakang rumah. Kubuka lemari
makanan yang pintunya telah patah sebelah. Hanya sebutir telur, dua buah cabai
rawit, dan segenggam beras yang mengisi lemari tua itu. Otakku langsung
berputar cepat. Apa yang bisa kumasak untuk ibuku? Terdengar alarm dalam perutku
berbunyi tanpa henti. Aku duduk termenung beberapa saat di pojok bilik. Hingga
akhirnya, aku putuskan untuk membuat nasi goreng seadanya. Nasi goreng ini
pasti lezat rasanya walau tidak dimasak dengan bumbu yang lengkap. Bagaimana bisa? Mungkin itu pertanyaan yang
timbul di benak kalian. Tentu saja karena kubuat dengan sepenuh hatiku.
Harumnya nasi goreng ini membuat perutku semakin keroncongan. Tetapi, tak
kuhiraukan teriakan perutku ini. Yang terpenting adalah ibuku. Nasi ini hanya
untuk ibuku seorang.
“Bu, iki tak aku bawain nasi buat
ibu. Dimakan ya! Sini tak aku suapin ya.” “Aturnuhun, Ros,” jawabnya dengan
suara lemah. Kusuapkan sesendok demi sesendok sambil menahan gairahku yang juga
ingin menikmatinya. Setelah butir nasi terakhir masuk ke dalam mulut ibu, kutinggalkan
ibuku beristirahat.
Kulihat
jam di dinding. “Jam wolu? Aku bisa telat iki,” teriakku terkejut. Mendengar
teriakkanku, ibu memanggilku dan bertanya, “Ada opo toh, Ros? Wes telat? “
“Ndak, Bu. Aku ndak sadar aja wes jam wolu. Ya wes, aku ke pasar sek ya.
Assalamualaikum,”jawabku menenangkan. “Ya
wes, hati-hati ya! Walaikumsalam,” ucapnya dengan logat Jawa-nya yang
khas.
Dengan kaos putih lusu dan rok hitam
kembangku, aku berjalan dengan semangat menuju ke pasar. Sepanjang jalan, aku
menyapa orang-orang yang yang kutemui dengan senyum. Aku tak mau orang lain
tahu aku sedang dalam masalah dan kepanikkan. Sesampainya di pasar, seperti
biasa, aku mendatangi Ibu Iyem, penjual tahu dan tempe langgananku. Wanita
berkerudung biru dan berpakaian serba tertutup itu sedang sibuk melayani
pembeli dengan sangat ramah. Tak heran pelanggannya banyak. Ia selalu menjual
dagangannya dengan jujur dan sopan. Barang dagangannya pun bersih dan
berkualitas. Namun, karena tak banyak waktu, segera kuhampiri wanita asal Solo
itu. “Pagi, Bu,” sapaku dengan sopan. “Oh, kamu, Ros. Sebentar ya!” Ia pun
segera membungkus 25 buah tahu dan tempe untukku. “Aturnuhun,“ jawabku sopan.
Selanjutnya, masih ada satu tempat
lagi yang harus kudatangi. Penjual singkong langganan ibuku, Pak Suwarman. Pria
berkulit sawo matang dan telah berkeriput ini biasa berdagang di pojok
pasar. Kuhampiri pria pemilik wajah cuek
ini. “Pagi, Pak. Singkong ne songo,” ucapku ramah. Seperti biasa dengan wajah
cuek dan galak, ia memberikan sekantong plastik hitam penuh dengan singkong.
Kemudian aku pun segera menuju rumah.
Dengan penuh semangat kubuat keripik
singkong serta tahu dan tempe goreng yang kemudian dengan rapi kubungkus dalam
plastik-plastik. Kini aku siap menjajakan daganganku demi mendapatkan uang
untuk makan dan obat ibuku. Bersama sandal jepit merah kesayanganku, kutelusuri
jalan kampung, gang demi gang. “Keripik..Tahu..Tempe..” Teriakku tanpa henti.
Tiga jam berlalu, tahu dan tempeku masih banyak. Tak kuhiraukan lagi panasnya
matahari. Tak kuhiraukan lagi keringnya tenggorokanku. Tak kuhiraukan lagi
basahnya tubuhku oleh keringat. Aku tetap berjalan menjajakan daganganku.
Hingga seorang nenek tua menghentikan langkahku. “Nak, tempe dan tahunya dua
ya. Berapa jadinya?” “Empat ribu, Nek,” jawabku ramah. “Kok mahal, Nak? Nenek
cuma punya 2000 saja. Cucu nenek belum makan dua hari,” ucap nenek itu memelas
penuh harap padaku. Tak sanggup aku melihat mata nenek itu yang menatapku penuh
harap. Aku ingat akan keadaanku yang juga sedang butuh makanan untuk ibuku. Aku
pun ikhlas menjual daganganku dengan setengah harga pada nenek itu. Betapa
senang hatiku melihat nenek itu dengan sangat senang berterima kasih padaku.
Aku pun melanjutkan perjalananku. Tepat pukul satu siang, daganganku akhirnya
laku terjual.
Kududuk di bukit sejenak untuk
beristirahat. Kudengar suara ramai anak-anak sekolah yang baru saja pulang
sekolah. Tak lama kemudian, beberapa anak berpakaian putih biru melintas di
depanku. Tak terbendung lagi air mataku. Aku ingin kembali sekolah. Di usiaku
yang menginjak tiga belas tahun, seharusnya aku duduk di bangku 1 SMP. Namun,
lulus sekolah dasar pun aku tidak. Aku putus sekolah saat kududuk di bangku 3
SD. Saat itu, ayahku jatuh sakit parah dan akhirnya tak tertolong. Sejak saat
itu, aku dan ibu tinggal berdua di rumah. Bahu membahu mencari nafkah. Kami
selalu berjuang bersama demi hidup kami. Walau hidup berkekurangan, namun aku
tetap bahagia karena ibuku sangat menyayangiku. Ibuku adalah guruku, temanku,
sahabatku, segalanya untukku. Kepergiaan ayah tak boleh dijadikan alasan untuk
bersedih setiap hari, tetapi harus dijadikan semangat. Begitu pesan ibuku. Saat
ayah ada, ayah selalu berjuang keras mencari nafkah untuk kami dengan menjadi
kuli pasir di pagi hari, memerah sapi tetangga setiap siang dan sore, mengantar
susu sapi ke toko-toko di siang hari, dan menjadi tukang ojek di malam hari.
Beliau tak pernah mengeluh, bahkan beliaulah yang setiap hari membakar api
semangat kami untuk terus berjuang menghadapi hidup. Kuambil selembar foto yang
yang sudah menguning. Kupandangi foto almarhum ayahku. Kupandangi rambutnya
yang hitam gondrong. Kulihat badannya yang kurus dan telah keriput. Kutersenyum
saat kulihat senyum bibirnya dan matanya yang menatapku dengan penuh sayang.
Lamunanku akan ayahku buyar seketika
saat kuteringat akan ibuku yang belum juga makan siang. Bergegas aku membeli
sebungkus nasi untuk ibuku. Kulangkahkan kaki dengan kecepatan tinggi untuk
tiba di rumah secepatnya. Kuberikan nasi itu kepada ibuku yang telah dengan
sabar menanti kedatanganku. “Kamu ndak makan?” “Ndak. Ibu saja. Nanti uang
makanku buat beli obat ibu saja. Aku ndak lapar kok,” jawabku menenagkan ibu.
Seusai memastikan ibu menghabiskan
makanannya, aku bergegas ke peternakan milik Juragan Sulaiman. Dengan menahan
rasa lapar yang hampir tak terkendali lagi, aku tetap berusaha dengan sabar dan
lembut, memerah susu sapi-sapi Juragan Sulaiman. Dua jam pun berlalu. Aku telah
mengumpulkan 24 botol penuh susu sapi. Akan tetapi, masih ada tiga ekor sapi
lagi yang belum kuperah susunya. Aku
berusaha menyelesaikan tugasku. Dengan penuh perjuangan, aku berhasil memerah
kelimabelas ekor sapi. Aku segera
melaporkan
hasil kerjaku pada Juragan Sulaiman yang tengah duduk santai di teras rumah
sambil membaca koran. Dengan tampangnya yang galak, ia hanya mengangguk. Alis
dan kumisnya yang tebal semakin membuat tampangnya tampak sangar. Namun,
sebenarnya Juragan Sulaiman adalah sosok yang baik hati dan dermawan. Buktinya, Juragan Sulaiman mau membantu membiayai
setengah biaya pengobatan almarhum ayahku saat almarhum ayahku kritis.
Tak
membuang waktu, aku pun segera melesat ke toko-toko langganan susu sapi Juragan
Sulaiman. Meski tubuhku sudah tak bertenaga lagi dan keringat telah bercucuran
di seluruh tubuhku, aku tetap bersemangat mengantar botol-botol susu hasil
perahanku ke lima belas toko yang tersebar di berbagai penjuru arah dari peternakan Juragan
Sulaiman. Aku tetap menunjukkan keceriaan wajahku seperti seakan-akan aku tidak
lelah sama sekali, walau sebenarnya tubuhku ini hampir roboh. Satu per satu
toko kudatangi dan kuantarkan dua botol susu setiap toko. Para penjual toko
terlihat kagum padaku dan mengikuti semangatku tuk berusaha dan bekerja keras.
Aku senang dapat dijadikan teladan baik.
Waktu
menunjukkan pukul 5 sore, semua botol susu telah kuantarkan. Kakiku pun
berjalan kembali ke peternakan Juragan Sulaiman. Juragan telah menanti
kedatanganku di depan pagar rumahnya yang berwarna coklat kayu. Melihat
kedatanganku, ia tersenyum mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Aku disuguhkan
segelas teh manis hangat dan sepotong roti. Rasanya seperti mendapat berkat
dari Allah SWT atas kerja kerasku. Aku
sangat bersyukur pada Allah dan berterima kasih pada Juragan Sulaiman. Juragan
menceritakan kekagumannya padaku yang bagaikan Wonder Woman. Bekerja dari pagi
hingga malam tanpa kenal lelah. Aku tersenyum senang mendengar pujian itu.
Saat
mendengar adzan Magrib dikumandangkan, aku berpamitan dengan Juragan Sulaiman.
Tak tahu mengapa, langkah kakiku menjadi sangat ringan dan cepat menuju rumah
kayuku tercinta. Sesampai di rumah, aku menjenguk ibuku yang ternyata masih
terlelap di atas papan tidur. Aku pun bergegas membersihkan tubuh dan melakukan
sholat Magrib. Kupusatkan pikiranku dan hatiku dalam syukur dan doaku.
Ya, Allah
Terima kasih
kuucapkan tak terhingga padaMu
Atas pernyertaanMu
sepanjang hari ini
Aku berhasil
melalui hari ini dengan senyum di wajahku
Ya, Allah
Sembuhkanlah ibuku
tercinta
Jangan biarkan ia
merasa kesakitan
Ya, Allah
Berilah kekuatan
pada ibuku agar ia dapat segera sehat kembali
Aku sangat
menyayanginya
Aku tak ingin ia
terbaring lemah di atas papan tidur
Bila boleh dan
bisa,
Biarlah aku yang
menderita sakit
Ibu telah berusaha
keras selama ini untuk melahirkan dan membesarkanku
Ya, Allah
Tak lupa pula kumohon
padaMu
Berilah berkat dan
anugerahMu pada setiap ciptaanMu
Agar mereka dapat
melewati hari-hariMu
Berilah kekuatan
pada kami semua
Tuk dapat terus
berjuang hidup
Tak
terasa air mataku terjatuh. Dan tanpa kusadari pula, ibuku telah berada di
belakangku dengan bergelinang air mata. Keberadaan ibu baru kusadari saat terdengar
suara batuk ibu. Ibu hanya tersenyum padaku. Aku pun membalas senyuman manisnya
dan segera memeluknya. Ibu telah cukup pulih, namun tampaknya belum dapat banyak
bergerak. Ibu membelai
rambut hitamku yang panjangnya telah mencapai pinggangku. Ibu memanjakanku
sesaat hingga aku tersadar bahwa aku lupa membeli makan malam dan obat ibu.
Dengan
langkah seribu langkah, kutembus dinginnya malam menuju ke toko obat yang
terletak 15 km dari rumahku. Untung saja, aku belum terlambat. Toko obat itu
hampir saja tutup. Segera kubeli obat untuk ibu. Kemudian, aku pun kembali
melangkahkan kaki mnyusuri gelapnya malam menuju ke Warteg Lezat yang berada di
jalan kecil yang akan kulalui untuk tiba di rumah. Namun, di perjalanan, hidung
pesekku ini mencium suatu bau tak sedap.
Kucari asal bau itu. Hingga akhirnya kutemukan sumber bau itu yang tak lain
adalah tempat sampah. Akan tetapi, mataku terpanah pada seorang kakek tua yang
berpakaian compang-camping dengan sebuah topi tua yang menutupi rambut
putihnya. Kakek itu duduk tak berdaya di samping tempat sampah itu. Matanya
yang sayu, mukanya yang pucat, bibirnya yang kering, dan tubuhnya yang layu
membuatku amat sangat tidak tega meninggalkannya tanpa membantunya. Aku tahu
kakek itu pasti belum makan dan minum
selama lebih dari dua hari. Aku ingin membantunya, tetapi bagaimana caranya?
Bila kuberikan uangku, kakek itu pun mungkin tak cukup kuat untuk berjalan membeli makanan.
Akhirnya kuputuskan membelikannya makanan.
Di
Warteg Lezat, aku ingin membeli tiga bungkus nasi dan segelas air putih. Namun,
apa daya uangku tak cukup. Tanpa pikir panjang, aku pun memutuskan untuk
hanya membeli dua bungkus nasi dan
segelas air putih saja. Dengan membeli makanan itu saja, uangku kini habis tak
tersisa sepersen pun. Aku segera kembali ke tempat kakek berusia lanjut itu.
Kuberikan sebungkus nasi dan segelas air putih padanya. Kakek itu sangat
berterima kasih padaku. Dengan senang hati aku berpamitan pada kakek itu dan
kembali meneruskan perjalanan pulangku.
Sesampai
di rumah, ibu terkejut melihatku pulang hanya bersama sebungkus nasi. Dengan
tenang dan santai, aku mengajak ibu untuk berbincang di dalam rumah saja.
Kemudian, kuceritakan apa yang terjadi dan apa yang kulakukan. Ibuku bangga
sekali padaku dan ia pun mengajakku untuk makan nasi sebungkus berdua saja. Aku
pun setuju dan menikmati nasi bungkus itu sebungkus berdua. Walau hanya sedikit,
tetapi tetap terasa nikmat.
Keesokan paginya, ibuku telah kuat bekerja kembali. Kami
membersihkan rumah bersama. Kami senang melakukannya bersama-sama karena terasa
sangat menyenangkan. Setelah selesai, kami pun bergegas menuju tempat di mana
kami dapat memperoleh barang dagangan kami. Ibu berjalan dengan gemulai menuju
pasar untuk mendapatkan tahu, tempe, dan singkong. Sedangkan aku kembali pada
pekerjaanku sehari-hari sebagai loper koran. Aku mengunjungi penerbit satu demi
satu untuk mendapatkan koran dan tabloid
yang baru terbit.
Kemudian aku berkeliling kampung dengan sebuah sepeda tua
milik tetanggaku, Yanto. Kujual koran dan tabloid yang kubawa dengan semangat
dan ramah hingga laku terjual semua. Namun, seperti kebiasaanku. Aku sering
membaca koran-koran dan tabloid yang kujual untuk menambah wawasanku. Sehingga
meski aku tak bersekolah, aku tetap tahu berita-berita terkini. Dari koran
Tempo, koran kesukaanku, aku memperoleh banyak sekali wawasan, baik bidang politik, ekonomi, kriminalitas, budaya, teknologi, dll.
Pada
siang hari, koranku telah laku terjual. Kemudian aku bergegas menuju rumah
Juragan Sulaiman dan bekerja di peternakannya.
Inilah yang setiap hari kulakukan. Ini semua bagaikan kebiasaan hidupku
sehari-hari. Hingga suatu saat di mana ada isu bahwa tahu yang dijual sering menggunakan formalin, penyawet mayat, sebagai
pengawet tahu yang berbahaya bagi tubuh. Tahu yang dijual ibuku mulai tidak
laku. Penjualan pun menurun drastis. Ditambah dengan sapi-sapi Juragan Sulaiman
yang terkena virus mematikan sehingga tak dapat diambil lagi susunya. Bagaimana
aku dan ibuku dapat bertahan hidup? Apa yang harus kami lakukan?
Kaki
menjadi kepala dan kepala pun menjadi kaki. Apa pun yang masih dapat kami
kerjakan, kami kerjakan, selama itu semua masih halal dan benar. Walau aku dan
ibuku ini adalah kaum hawa, kami tak malu dan ragu untuk menjadi kuli angkut di
pasar dan bongkar muat pasar. Karena
semangat dan tekad kami, pekerjaan itu dapat kami kerjakan. Tubuhku seakan
mendapat tenaga dan kekuatan yang lebih dari biasanya untuk mengangkat
beban-beban berat itu. Walau tulang terasa mau patah, kami tidak mengeluh dan
tetap berusaha. Kami pun dapat bertahan hidup dengan kerja keras kami menjadi
kuli angkut.
Akan
tetapi, nasib mujur belum sepenuhnya berpihak padaku dan ibuku. Memang kami
masih dapat mendapatkan uang untuk makan setiap hari walau uang yang kami dapat
sangat pas-pas-an. Namun, pada suatu pagi, kudengar suara ibu memanggilku.
“Rosa...Rosa...Ro...sa...,” panggil ibu dengan suara terputus-putus. Segera
kuhampiri ibuku. Di bilik tidurnya yang sudah penuh dengan lubang di atapnya,
wanita berpakaian daster kuning kembang itu sedang terbaring di atas papan
tidurnya. Terlihat usahanya untuk bangkit berdiri, namun apa daya ia tak mampu.
Terdengar jelas napasnya terengah-engah. Wajahnya sudah sangat pucat. Aku pun
tahu bahwa penyakit sesak napas yang dihidap ibu sejak delapan tahun yang lalu
ini kambuh lagi. Segera kucoba untuk membantu ibu bangkit. Kupegang tangannya
yang berkeringat dingin. Namun, ibu pun masih tak mampu bangkit. Pikiranku
kacau tak tahu harus berbuat apa. Hati sedih seperti teriris-iris melihat
keadaan ibu.
Dengan
sigap, kuambilkan botol obat ibu. Kuberikan sebutir tablet putih ke dalam mulut
ibu dan kuberikan segelas air putih hangat. Lalu kucium kening ibuku yang sudah
keriput dan kutinggalkan ia beristirahat.
Aku pun
segera pergi mencari uang untuk biaya pengobatan ibu. Kulakukan semua pekerjaan
yang dapat kulakukan dengan semangat agar hasilnya pun maksimal. Seusai
menyelesaikan tugasku sebagai loper koran dan kuli angkut di pasar, aku segera
pulang. Dengan segenggam uang kecil hasil jerih payahku, kuharap cukup untuk
biaya pengobatan ibu. Matahari bersinar sangat terang menemani langkah kakiku
menuju rumah.
Sesampai
di rumah, aku langsung menghampiri ibu di biliknya. Terlihat sekali keadaannya
semakin parah. Aku merasa bahwa ibu harus dibawa ke rumah sakit segera. Tanpa
pikir panjang, kumemanggil temanku, Jaipul, untuk membantuku membawa ibu ke
rumah sakit. Dengan senang hati, laki-laki berambut cepak berkulit gelap itu
pun membantuku. Di balik tubuhnya yang kecil, tenaganya sangat besar. Setelah
menempuh jarak 30 km, kami pun tiba. Tanpa pikir panjang, aku langsung membawa
ibuku menuju ruangan dokter dan meminta pertolongan terbaik darinya untuk
ibuku. Dr. Anton pun dengan sigap memeriksa ibuku. Sepuluh menit kumenunggu.
Dr. Anton muncul dari balik pintu ruang kerjanya. “Rosa, silakan masuk!”
Panggilnya. Aku pun segera masuk. “Bagaimana, Dok? Ibuku baik-baik saja kan?”
Tanyaku cemas. “Ros, sepertinya ibumu harus dirawat inap beberapa hari dulu di
sini. Kalau tidak kondisinya bisa semakin parah,” jawabnya dengan ramah. “Tapi,
biayanya?” Tanyaku spontan. “Saya tahu. Kamu tenang saja ya. Saya akan membantu
membiayai ibumu. Saya juga pernah dibantu orang lain saat saya tidak mampu
dahulu. Biarlah sekarang aku membalasnya melalui ibumu,” ucapnya penuh senyum
menenangkanku. Aku tersenyum senang, “Terima kasih banyak, Dok. Semoga Allah
membalas kebaikan Dokter.”
Aku pun
kemudian pamit pada dokter untuk pulang sejenak menyelesaikan pekerjaanku.
Sepanjang perjalanan aku tersenyum tak hentinya. Langkah kakiku sangat ringan.
Kubernyanyi di sepanjang perjalananku menuju rumah diiringi suara kicau buruh,
arus aliran sungai, dan keramaian orang beraktivitas. Langkah kakiku tiba-tiba
berhenti. Seorang nenek tua berkerudung merah berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Langkah
kakinya sudah sangat lambat. Tak tega hati, kuhampiri nenek itu. “Nek, mau ke
mana?” Nenek itu diam tanpa kata. Sesaat kemudian, ia menjawab dengan suara
yang sangat pelan, “Entahlah, Nak. Nenek bingung. Dadaku terasa sangat sakit.
Namun, aku tak punya biaya.” “Mari kuantarkan ke rumah sakit. Mungkin uang yang
kumiliki ini cukup untuk biaya berobat nenek,” ajakku spontan. Kuantarkan nenek
tua itu ke rumah sakit.
Sesampai
di rumah sakit, kuantarkan nenek itu ke ruang praktek dr. Anton. Dr. Anton tampak
sangat bingung melihat kedatanganku kembali. Kuceritakan apa yang terjadi
padanya dan kumemintanya untuk memeriksa nenek berambut putih berpakaian daster
merah yang telah dekil itu. Dr. Anton tersenyum bangga padaku.
Setengah jam kumenunggu di depan ruang praktek. Dr. Anton keluar dari
ruangannya bersama dengan wanita setengah baya yang kuduga usianya berkisar
50-60 tahun. Dr. Anton memberikan sebungkus kapsul berwarna merah putih padaku
dan mengatakan bahwa nenek itu terlalu letih, sehingga tubuhnya sangat lemah.
Kuberikan seluruh uang yang kupunya sebagai tebusan atas biaya pemeriksaan dan
obat wanita bermuka bulat kecil itu. Setelahnya, kuantarkan wanita pemilik mata
bulat besar dan hidung mancung itu ke rumahnya. Tercermin dari raut wajahnya
bahwa ia amat sangat berterima kasih padaku. “Nak, aturnuhun ya,” ucap bibirnya
yang berwarna merah tua dengan nada halus dan sopan.
Aku pun segera mohon diri dan
bergegas ke peternakan Juragan Sulaiman. Tanpa membuang waktu, aku
menyelesaikan pekerjaanku sebaik dan secepat mungkin. Tak terasa aku telah
menghabiskan dua jam untuk menyelesaikan semua pekerjaanku. Seusai pekerjaanku
selesai, aku segera membersihkan diri dan sholat. Walau banyak cobaan datang
menghadangku, aku tak pernah putus asa dan aku pun tak lupa tuk bersyukur
padaNya.
Langit berwarna merah kekuningan.
Sang Surya sudah menuju ke barat untuk beristirahat. Burung-burung berterbangan
kembali ke sarangnya dengan kicau merdu mereka. Aku pun segera mengayunkan kaki
menuju ke gedung putih besar yang berada di perbatasan Kampung Makmur dan
Kampung Maju, kampung halamanku tercinta. Meski jarak yang kutempuh tidak dapat
dikatakan dekat, aku tetap merasa bahwa jarak itu dapat kutempuh dengan cepat.
Brrrmm….Brrrmmm…. Terdengar suara
sebuah sepeda motor yang sedang mengebut dari kejauhan. Dan tanpa sengaja
kulihat seorang bocah gundul berusia sekitar enam tahun sedang menyebrang jalan
raya dengan santainya. Spontan aku berteriak, “ Ade, awas! Ada motor.” Namun,
dia tak mendengar teriakanku. Aku berlari dengan kecepatan tercepatku untuk
menyelamatkan bocah berbaju upin ipin itu. Aku tak memikirkan apa pun selain
menolong bocah polos itu. Dan….
Perlahan kurasakan tubuhku berada di
atas sebuah kasur yang empuk. Kubuka mataku pelan-pelan. Yang dapat kulihat
hanyalah dinding putih dan sebuah pintu. Namun, itu semua masih kabur di
penglihatanku. Kepalaku terasa sangat sakit. Tak lama kemudian, tercium bau
sesuatu yang tak asing lagi bagiku. Ya, benar ini adalah bau obat-obatan di
rumah sakit. Aku kemudian sadar bahwa aku berada di rumah sakit. Tiba-tiba,
terlintas di kepalaku bocah berkulit kuning itu. Aku langsung duduk dan
berusaha untuk bangkit. Namun..
“Aah, kenapa aku iki? Kenapa aku
ndak iso berdiri?” Tanyaku pada diriku dengan penuh kebingungan. Mendengar
suaraku, seorang perawat masuk ke ruanganku dan membantuku. Perempuan
berpakaian seragam serba putih itu, tersenyum melihatku dan menjelaskan bahwa kakiku patah akibat tertabrak sepeda motor.
Aku sangat terkejut. Namun, sekali lagi di benakku muncul kekhawatiran akan
bocah itu. Kutanyakan kepada perawat itu akan keadaan bocah bertubuh kecil yang
ingin kuselamatkan tadi. Perawat itu bingung mendengar pertanyaanku, “Kok kamu
malah bertanya akan bocah itu? Tak kah kau pikirkan dirimu dulu? Anak itu
selamat tanpa luka sedikit pun. Ia telah diantarkan pulang.” Jawaban itu sangat
menenangkan hatiku. Aku hanya tersenyum bahagia dan menarik napas lega.
Keesokan harinya, aku telah
diijinkan kembali ke rumah. Namun, aku memutuskan untuk menjenguk dan menemani
ibuku terlebih dahulu. Ruang tempat ibuku dirawat ternyata terletak tepat di
sebelah ruanganku. Namun, ketika aku akan masuk ke ruangan ibuku, dr.Anton
memanggilku dan mengajakku ke ruangannya. Bersama kedua tongkat di sisiku, aku
berjalan ke ruangan dr. Anton.
“Ros, bagaimana kakimu?” Tanyanya
membuka percapakapan.
“Sudah baik. Ada apa aku dipanggil,
Dok?”
“Ros, ada kabar kurang baik tentang
ibumu,” ucapnya dengan raut wajah penuh iba.
“Apa itu?” Tanyaku mulai panik.
“Ibumu ternyata juga terkena gagal
ginjal. Dia membutuhkan donor ginjal secepatnya. Kalau tidak, nyawanya akan
terancam.”
Aku hanya terdiam panik. Aku tak
tahu harus berbuat apa. Kekhawatiranku akan ibu terus menghantui pikiranku. Detik
demi detik berlalu, menit demi menit pun berlalu. “Ros, kamu kenapa?”
Pertanyaan Dokter Anton membangunkanku dari lamunanku. Kupikirkan matang-matang
keputusan yang akan aku ambil, kemudian aku menjawab pertanyaan Dokter Anton
dengan tenang, “Dok, pakai saja ginjalku untuk didonorkan kepada ibuku.” Dokter
Anton tampak terkejut mendengar jawabanku. “Yang benar kamu, Ros?” “Ya, aku
serius, Dok. Aku punya dua ginjal, dengan memberikan satu ginjalku untuk ibu,
tidak akan terjadi apa-apa padaku dan justru aku telah menyelamatkan nyawa
ibuku. Benar kan, Dok? Tapi, tolong jangan katakan pada ibu, siapa yang mendonorkan
ginjal untuknya, Dok,” jawabku meyakinkan sembari sedikit memelas. Dokter Anton
tersenyum mengangguk dan memberikan surat pernyataan untuk aku baca baik-baik
dan tanda tangani. Dengan cermat, aku membaca surat itu dan menanda tanganinya
dengan tersenyum.
Segera setelah aku menyerahkan
kembali surat pernyataan yang telah aku tanda tangani, aku dibawa masuk ke
ruang operasi untuk dilakukan operasi pencangkokan. Aku tak sadarkan diri
selama lebih kurang empat jam, hingga akhirnya pengaruh obat bius yang
diberikan padaku habis. Aku mencoba membuka mataku, pandanganku tampak agak
kabur dan badanku terasa amat lemas dan berat untuk digerakkan. Tiba-tiba
Dokter Anton masuk ke ruanganku, beliau tersenyum melihatku telah sadarkan diri
dan mendekatiku. “Rosa, baguslah kamu sudah sadarkan diri. Ada kabar baik dan
buruk untukmu. Kabar baiknya adalah operasi pendonoran ginjal untuk ibumu
berhasil dilakukan dan kondisinya telah membaik. Namun, ada yang perlu kamu
ketahui tentang kondisimu saat ini. Saat ini tubuhmulah yang menjadi masalah. Paska
operasi tadi, tubuhmu seakan-akan memberikan perlawanan terhadap tubuhmu
sendiri. Sel-sel darah putih dalam tubuhmu berkembang pesat dan memberikan
perlawanan terhadap tubuhmu dan hal ini sangat berbahaya bagi keselamatanmu.
Untuk sementara kamu juga harus di-opname
dan semoga saja ini dapat mengembalikan kondisimu. Namun, tidak ada jaminan
pasti untuk hal ini dan apabila cara ini tidak berhasil, berarti sisa hidupmu
hanya beberapa hari saja karena perlawanan yang terjadi dalam tubuhmu sangat
kuat. Maafkan saya harus mengatakan hal ini,” ucap Dokter Anton dengan wajah
penuh penyesalan.
Jujur saja aku terdiam seribu kata
mendengar ucapan Dokter Anton. Pikiranku melayang tak tahu ke mana. Hingga
tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk dan seorang perawat datang dengan
tergesa-gesa menghampiri dr.Anton. “Dok, gawat. Pasien di kamar 15 membutuhkan
donor jantung secepatnya. Jantungnya hampir tak berfungsi,” ucapnya panik.
Belum keluar perawat yang satu, datang perawat lainnya yang juga dengan wajah cemas menghampiri dr.
Anton. “Dok, baru saja ada seorang ibu muda yang keadaannya sudah kritis karena
terkena kanker paru-paru. Donor paru-paru dibutuhkan segera,” ucapnya
terburu-buru.
Kepanikan kedua perawat itu menambah
kacau pikiranku. Aku membayangkan nasib kedua pasien yang nyawanya terancam
seperti ibuku tadi dan diriku saat ini. Apa yang harus kulakukan? Aku merenung
dan kemudian terlintas sebuah jalan keluar terbaik. Segera kuambil secarik
kertas dan sebuah pena. Kutuliskan suatu pesan untuk ibuku.
Bu, makasih banyak. Ibu adalah
perempuan perkasa dan terhebat dalam hidupku. Ibu telah berjuang melahirkan dan
membesarkanku. Banyak waktu telah kita habiskan berdua. Kita telah berjuang
bersama. Ibu tlah menyayangiku sepenuh hati. Kasih saying ibu yang begitu
hebatnya yang tak kudapat dari siapa pun. Bu, cepatlah sembuh. Aku tak tahan
melihat ibu terus kesakitan. Ibu, terus berjuang ya. Ingat pesan ayah kalau
kita harus terus berusaha tanpa putus asa. Maafkan aku tak dapat terus menemani
ibu berjuang. Tetapi, ingatlah aku akan selalu bersama ibu di mana pun ibu
berada. Anggaplah nyanyian merdu burung-burung di pagi hari sebagai pengganti
suara sapaku setiap pagi. Terima kasih, Bu.
Salam
kasih sayang tak terhingga,
Rosa
Tak terasa air mataku menetes.
Kuusap air mataku dan segera kulipat rapi kertas itu. Aku meminta tolong kepada
perawat yang masuk ke ruanganku untuk memanggil Dokter Anton. Kukatakan pada
Dokter Anton bahwa apabila aku tak dapat lagi bertahan hidup, aku ingin
mendonorkan organ-organ tubuhku untuk pasien-pasien yang membutuhkan donor tersebut
dan kepada siapa saja yang membutuhkan. Kemudian kutitipkan surat yang telah
kutulis untuk ibuku kepada Dokter Anton untuk diberikan kepada ibuku apabila
aku harus menghembuskan napas terakhirku. Setekah itu, dengan sangat yakin,
kutandatangani sebuah surat pernyataan. Dr. Anton melihatku penuh haru hingga
ia pun meneteskan air mata.
Malam harinya, aku meminta tolong
lagi kepada seorang perawat yang masuk ke ruanganku untuk mengantarkanku ke
tempat ibuku sejenak. Kutatap wajahnya dan kucium kening ibuku tercinta. Ibu
masih tertidur dengan sebuah senyum kecil yang terlukis di wajahnya. Kemudian
aku kembali ke kamarku untuk beristirahat karena tubuhku terasa semakin lemas
dan berat, serta pandanganku semakin gelap. Dan ternyata inilah napas
terakhirku.
Napas terakhirku kuserahkan pada
semua orang, terlebih mereka yang membutuhkan bantuan. Mungkin kalian bertanya
mengapa aku rela menyerahkan hidupku untuk orang lain. Aku, Rosa, adalah
seorang anak yang dalam 13 tahun kehidupannya telah banyak mendapatkan uluran
tangan orang lain. Paru-paru yang berfungsi di dalam tubuhku ini sebenarnya
bukanlah paru-paruku, melainkan paru-paru seorang anak berusia 14 tahun yang
telah meninggal dunia akibat gagal ginjal. Ayahku dapat bertahan dua tahun
lebih lama dari prediksi dokter akibat uluran tangan banyak orang yang membantu
biaya pengobatan dan donor hati untuk ayahku. Kini mungkin tiba saatnya aku
dapat membalas semua uluran tangan orang lain dengan kembali mengulurkan
tanganku untuk orang lain. Dan satu hal yang terpenting, walau ragaku tak dapat
abadi, namun jiwaku tetap abadi. Jiwaku kuserahkan pada semua orang. Aku akan
tetap hidup dalam tubuh ibuku melalui ginjalku. Aku akan tetap hidup dalam
tubuh kedua pasien kritis itu melalui paru-paru dan jantungku. Darahku mengalir
dalam tubuh banyak orang yang kekurangan darah. Mataku tetap terbuka untuk
melihat indahnya dunia melalui mata seorang anak kecil yang juga membutuhkan
donor mata. Seluruh hidupku kuserahkan untuk semua orang yang kukasihi. Hidupku
telah kuberikan untuk hidup begitu banyak orang. Aku tetap bahagia dalam
kehidupanku yang abadi ini bersama impianku yang abadi dengan memberikan
hidupku untuk orang lain.
Angie Michaela Marella
September 2010